Fenomena keterlibatan perempuan dalam terorisme di Indonesia menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak 2016, ketika DYN berusaha melakukan bom bunuh diri di Istana Presiden. Kasus serupa kemudian muncul di berbagai lokasi, termasuk Surabaya, Sibolga, Jolo, Makasar, dan Mabes Polri Jakarta. Ini menandakan bahwa perempuan semakin aktif dalam tindakan radikalisme dan ekstrimisme, termasuk sebagai pelaku bom bunuh diri. Perhatian lebih terhadap dinamika keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal menjadi isu penting dalam upaya pencegahan terorisme di Indonesia.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendalam: mengapa perempuan cenderung rentan terpapar radikalisme? Dengan menggunakan kerangka teori "Amplifikasi Spiral" dari Lynn Davis dan Patrice Brodeur, kita dapat memahami mekanisme psikologis dan sosial yang memungkinkan perempuan terseret dalam jerat ini. Selain itu, langkah-langkah pencegahan yang strategis perlu dirumuskan untuk melindungi perempuan dari ancaman ini.
Dalam tahap awal amplifikasi spiral, kelompok radikal sering memanfaatkan rasa keterasingan yang dialami perempuan. Mereka menciptakan narasi eksklusif yang menekankan bahwa kelompok tersebut memiliki kebenaran atau wawasan unik yang tidak dimiliki oleh kelompok lain. Perempuan yang merasa terpinggirkan, baik secara sosial maupun ekonomi, sering kali tergoda untuk mencari makna dan tujuan dalam hidup mereka melalui identitas kelompok ini. Pada titik ini, kelompok radikal memberikan ruang bagi perempuan untuk merasa dihargai dan diakui, sesuatu yang mungkin sulit mereka dapatkan di luar kelompok tersebut.
Seiring berjalannya waktu, narasi eksklusivitas ini berkembang menjadi rasa superioritas. Perempuan yang telah bergabung dengan kelompok radikal mulai meyakini bahwa mereka memiliki kedudukan moral dan spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain di luar kelompok. Perasaan ini memperkuat keterikatan mereka terhadap ideologi kelompok, yang sering kali dibingkai sebagai "jalan yang benar." Pada tahap ini, perempuan tidak hanya terlibat secara emosional tetapi juga mulai menerima dan mempromosikan keyakinan kelompok sebagai bagian dari misi hidup mereka.
Rasa superioritas ini kemudian mendorong munculnya intoleransi. Kelompok radikal menanamkan pandangan bahwa perbedaan adalah ancaman. Perempuan yang sebelumnya hidup berdampingan dengan orang-orang dari latar belakang atau keyakinan berbeda, mulai memandang mereka sebagai musuh. Pada titik ini, tindakan merendahkan, menolak, atau bahkan memusuhi kelompok lain menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Intoleransi ini mempersempit pandangan mereka terhadap dunia dan semakin memperkuat ketergantungan mereka pada kelompok radikal.
Ketika intoleransi berkembang, perempuan dalam kelompok radikal sering kali mulai mempercayai bahwa ideologi mereka dibenarkan oleh Tuhan atau memiliki legitimasi mutlak. Keyakinan ini menciptakan rasa misi yang mendalam, di mana semua tindakan kelompok, termasuk kekerasan, dianggap sah. Pada tahap ini, perempuan yang teradikalisasi dapat menjadi agen perekrutan, penyebar propaganda, atau bahkan pelaku aktif dalam tindakan ekstrem. Dengan keyakinan bahwa mereka berjuang demi Tuhan atau demi kebenaran absolut, kompromi atau dialog dengan pihak luar menjadi hampir mustahil.
Tahap terakhir dari amplifikasi spiral adalah ekspansionisme. Perempuan yang telah sepenuhnya teradikalisasi merasa terdorong untuk menyebarkan ideologi mereka ke sebanyak mungkin orang. Mereka sering kali menjadi ujung tombak dalam perekrutan anggota baru, menggunakan pendekatan yang lebih emosional dan personal untuk menarik individu lain. Dalam beberapa kasus, perempuan bahkan rela mengorbankan diri mereka sendiri demi "misi suci" kelompok.
Fenomena ini menunjukkan betapa kompleksnya proses radikalisasi perempuan. Perempuan sering kali menjadi target yang rentan karena mereka menghadapi berbagai bentuk ketidaksetaraan dan tekanan sosial. Banyak perempuan yang merasa kehilangan arah atau mengalami trauma, sehingga mereka lebih mudah dimanipulasi oleh narasi radikal yang menawarkan komunitas, tujuan, dan identitas baru. Selain itu, eksploitasi peran tradisional perempuan sebagai penjaga moral dan nilai-nilai keluarga sering kali digunakan oleh kelompok radikal untuk memperkuat pengaruh mereka.
Untuk mencegah perempuan terjerat dalam radikalisme, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Pendidikan inklusif yang menanamkan nilai toleransi dan keberagaman menjadi langkah awal yang sangat penting. Perempuan perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis agar mereka dapat menolak narasi ekstremis. Selain itu, kampanye kesadaran yang menyasar perempuan, khususnya melalui media sosial, dapat menjadi alat yang efektif dalam menyebarkan kontra-narasi terhadap ideologi radikal.
Keluarga juga memegang peranan penting dalam pencegahan ini. Orang tua dan anggota keluarga lainnya perlu memahami tanda-tanda awal radikalisasi dan mampu memberikan dukungan emosional kepada perempuan yang rentan. Dukungan psikososial juga sangat penting bagi perempuan yang mengalami trauma atau tekanan emosional, sehingga mereka tidak merasa harus mencari pengakuan atau tujuan hidup melalui kelompok radikal.
Selain itu, kerja sama antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan tokoh agama diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perempuan. Dengan memberikan akses kepada pendidikan, peluang ekonomi, dan layanan kesehatan mental, perempuan dapat diberdayakan untuk menjadi agen perubahan yang positif dalam masyarakat.
Perempuan memiliki potensi besar untuk menjadi pelopor perdamaian dan toleransi. Namun, kerentanan sosial dan emosional dapat menjadikan mereka target empuk bagi kelompok radikal. Dengan memahami proses amplifikasi spiral, kita dapat melihat bagaimana keyakinan awal dapat meningkat menjadi tindakan ekstrem. Melalui pendidikan, pemberdayaan, dan dukungan komunitas, kita dapat melindungi perempuan dari radikalisme dan memberdayakan mereka untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan damai.
Komentar
Posting Komentar