Menyembuhkan Luka Masa Kecil Untuk Kedamaian Diri

Masih teringat jelas masa kecil saya ketika tinggal bersama mamah, kakak dari ayah saya. Rumah kami tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu kilometer, namun suasananya sangat berbeda. Sebagai seorang guru, mamah dikenal disiplin dan galak. Tidak sedikit muridnya yang menceritakan bagaimana ia bisa melempar kapur atau penghapus papan tulis ketika muridnya lalai atau tidak disiplin. Di rumah, saya juga merasakan bagaimana tegasnya aturan yang ia terapkan. Saya pernah merasakan perihnya cubitan di perut karena lalai shalat, kamar yang dikunci agar saya fokus belajar, hingga hukuman dimasukan ke kolam dangkal karena tantrum akibat hal kecil seperti ingin menabung di sekolah dengan jumlah yang tidak masuk akal.

Sebagai anak kecil, tentu saya merasa tertekan. Majalah Bobo yang saya sukai tidak akan dibelikan sebelum pekerjaan rumah selesai. Buku cerita yang saya tunggu-tunggu tidak akan datang sebelum saya bisa menceritakan isi buku sebelumnya. Semua itu terasa berat pada saat itu. Namun, pengalaman paling menyakitkan adalah saat dihukum di kolam, perasaan marah, sedih, dan tidak dipahami menjadi luka yang terus membekas di hati saya hingga dewasa.


Semua kenangan itu membuat saya tumbuh dengan perasaan yang tidak nyaman. Sebelum menjalani teknik SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) pada tahun 2012, setiap kali mengingat masa kecil itu, hati saya sering terasa sesak dan sakit. Seolah ada sesuatu yang mengganjal, luka yang belum sembuh. Melalui salah satu prosedur dalam SEFT yang dikenal sebagai Personal Peace Procedure (3P), saya diajak untuk menghadapi dan menyembuhkan luka batin itu. Salah satu langkah penting dalam proses ini adalah menulis surat kepada mamah dan bapak. Dalam surat itu, saya memasukkan tiga kata ajaib: "maaf", "terima kasih", dan "aku mencintaimu". Saat menulis surat tersebut, saya menangis cukup keras. Ternyata, luka yang saya rasakan cukup dalam.

Menariknya, ketika saya menulis surat untuk orang tua kandung saya, bapa dan ibu, saya tidak merasakan sesak yang sama. Hanya ada rasa haru. Ini membuat saya sadar bahwa hubungan dengan mamah dan bapak mengandung lapisan emosi yang jauh lebih kompleks. Namun, setelah menyelesaikan prosedur 3P dan menulis surat itu, hati saya terasa jauh lebih lega. Bahkan, hubungan saya dengan mamah semakin membaik. Dalam salah satu percakapan kami, mamah sempat meminta maaf atas caranya mendidik saya di masa kecil. Saya pun memaafkannya dengan sepenuh hati dan mulai melihat semua pengalamannya dari sisi positif. Berkat mamah, saya bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar. Saya jadi gemar membaca buku karena kebiasaan itu awalnya dipaksakan oleh mamah. Kebiasaan presentasi hasil bacaan yang dulu terasa memberatkan kini menjadi keterampilan yang sangat berguna di masa dewasa.

Pengalaman masa kecil seperti yang saya alami, bila tidak diselesaikan, bisa berdampak buruk pada kepribadian seseorang saat dewasa. Luka batin yang tidak terselesaikan dapat menjelma menjadi berbagai bentuk masalah emosi, seperti rasa rendah diri, ketidakmampuan menjalin hubungan yang sehat, atau bahkan kemarahan yang terpendam. Emosi-emosi yang tertekan ini sering kali menjadi akar dari berbagai gangguan psikologis. Misalnya, seseorang yang terus-menerus merasa tidak cukup baik karena sering dikritik di masa kecil mungkin tumbuh menjadi pribadi yang terlalu perfeksionis atau justru mudah menyerah.

Dalam konteks ini, perasaan manusia memiliki pengaruh yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan kata-kata yang diucapkan. Mamah mungkin sering berkata bahwa ia mendidik saya demi kebaikan saya, tetapi cara itu tidak selalu terasa demikian di hati saya yang masih polos saat itu. Perasaan yang muncul dari perlakuan atau tindakan seseorang memiliki vibrasi yang lebih mendalam dan bertahan lama. Bahkan, kata-kata positif sekalipun tidak akan efektif jika disampaikan dengan nada atau emosi yang tidak selaras. Anak kecil, khususnya, lebih merasakan "energi" di balik kata-kata dibandingkan makna harfiahnya. Sebuah pelukan hangat dengan perasaan cinta yang tulus bisa jauh lebih bermakna daripada seribu kata motivasi yang diucapkan dengan nada dingin atau penuh tekanan.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menyelesaikan emosi yang terpendam. Dengan memproses dan menerima luka masa lalu, kita bisa membebaskan diri dari pengaruh negatifnya. Teknik SEFT yang saya jalani membantu saya melepaskan beban emosi tersebut dan menggantinya dengan perasaan damai. Proses ini mengajarkan saya bahwa memaafkan bukan hanya soal memberikan maaf kepada orang lain, tetapi juga tentang membebaskan diri dari belenggu rasa sakit yang tidak perlu.

Sekarang, ketika saya mengingat kembali masa kecil bersama mamah, saya tidak lagi merasa sesak atau marah. Sebaliknya, ada rasa syukur yang mendalam. Saya bersyukur atas semua pelajaran yang diberikan, meskipun caranya mungkin terasa berat. Saya memahami bahwa mamah, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, hanya ingin saya menjadi pribadi yang lebih baik. Pengalaman itu juga membuat saya lebih peka dalam berinteraksi dengan orang lain, khususnya anak-anak. Saya belajar untuk selalu memperhatikan perasaan di balik kata-kata, memastikan bahwa cinta dan kehangatan selalu menjadi dasar dari setiap tindakan.

Masa kecil yang penuh tantangan adalah masa dimana banyak orang belum bisa berdamai dengannya. Dengan upaya untuk menyembuhkan diri, kita bisa mengubah luka menjadi kekuatan. Dan dengan memahami bahwa perasaan memiliki vibrasi yang lebih kuat daripada kata-kata, kita bisa menciptakan hubungan yang lebih harmonis dengan orang-orang di sekitar kita. Pada akhirnya, kunci dari kebahagiaan adalah melepaskan masa lalu, hidup di masa kini dengan penuh kesadaran, dan menyebarkan cinta dengan tulus.

Komentar