Menapaki Pangradinan: Pelajaran Hidup di Balik Sabana Hijau

Pagi itu, seperti biasanya, Bandung menyuguhkan udara dingin yang menyegarkan. Saya terbangun pada pukul 04.00 pagi dengan perasaan yang campur aduk – rasa malas bergulat dengan keinginan kuat untuk mencoba pengalaman baru. Bersama suami, saya memulai perjalanan menuju IKOPIN untuk melaksanakan shalat subuh. Tempat itu bukan hanya menjadi titik awal keberangkatan kami, tetapi juga tempat pertemuan dengan teman-teman suami dari bagian Humas IKOPIN. Kami telah sepakat untuk mendaki Gunung Pangradinan, sebuah pengalaman yang benar-benar baru bagi saya.

Gunung Pangradinan, yang terletak di Kabupaten Bandung, terkenal dengan keindahan alamnya. Sabana yang hijau, hamparan rerumputan yang seolah tak berujung, menjadi daya tarik utama gunung ini. Setelah selesai shalat subuh, kami melanjutkan perjalanan menggunakan motor. Kami meninggalkan IKOPIN sekitar pukul 05.00 WIB. Meski rasa kantuk masih menyelimuti, semangat untuk mendaki dan menikmati keindahan alam membuat saya rela mengorbankan kenyamanan tidur di pagi hari. Namun, ada satu hal yang terlupakan: saya lupa membawa jaket. Udara pagi Bandung yang menusuk, ditambah hembusan angin di perjalanan, membuat tubuh saya menggigil. Beruntung, saya duduk di belakang suami yang dengan setia menjadi "driver dunia akhirat," memberikan rasa aman dan hangat di tengah dinginnya pagi.

Setelah perjalanan sekitar satu jam, kami tiba di gapura jalur pendakian Gunung Pangradinan. Waktu menunjukkan pukul 06.05 WIB. Suasana di sana terasa segar dan penuh antusiasme dari para pendaki lain yang juga bersiap memulai perjalanan. Kami memarkirkan motor dan membayar retribusi sebesar Rp30.000 per orang. Biaya tersebut sudah termasuk parkir dan sebotol air mineral, sebuah bekal kecil yang akan sangat membantu selama pendakian. Jalur pendakian Gunung Pangradinan cukup lebar dan tertata dengan rapi. Bebatuan yang menjadi pijakan terasa kokoh, memberi kesan bahwa tempat ini dirawat dengan baik.

Trek pendakian dimulai dengan jalan sedikit menanjak kemudian kami bertemu tanjakan panjang sejauh sekitar satu kilometer. Meski cukup melelahkan, semangat kami tidak surut. Setelah tanjakan pertama, jalur berikutnya terasa lebih bersahabat. Ada tiga tanjakan lain yang tidak terlalu curam, memberikan kami kesempatan untuk beristirahat sejenak dan menikmati suasana. Biasanya, pendaki membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit untuk mencapai puncak. Namun, karena perjalanan kami santai, diselingi obrolan dan foto-foto, waktu tempuh kami menjadi sekitar 1 jam 10 menit. Dan akhirnya, puncak Gunung Pangradinan menyambut kami dengan segala keindahannya.


Pemandangan di puncak 1236 mdpl ini sungguh menakjubkan. Hamparan sabana hijau sejauh mata memandang, udara segar yang memenuhi paru-paru, dan langit biru yang membentang luas, semua itu memberikan rasa damai yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Di sana, kami bertemu dengan para pendaki lain, termasuk sekelompok anak muda yang menghabiskan malam minggu mereka dengan berkemah. Melihat semangat mereka, saya merasa bersyukur karena masih ada banyak cara untuk menikmati hidup tanpa harus jauh dari rumah. Pangradinan menjadi bukti bahwa keindahan tidak selalu harus dicari di tempat yang jauh; terkadang, ia ada di dekat kita, menunggu untuk ditemukan.

Namun, perjalanan ini bukan sekadar tentang mendaki dan menikmati pemandangan. Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman sederhana ini. Salah satunya adalah tentang perjuangan. Mendaki gunung, meski terlihat sederhana, membutuhkan usaha dan tekad. Tanjakan yang panjang dan melelahkan mengajarkan saya bahwa setiap kesulitan pasti memiliki ujung. Ketika kita terus melangkah, meski perlahan, puncak akan selalu menanti. Begitu pula dalam hidup. Dalam perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada tantangan yang terasa berat. Namun, jika kita tetap berusaha dan tidak menyerah, selalu ada kemudahan yang menanti di balik kesulitan.

Pengalaman ini juga mengingatkan saya bahwa hidup menjadi lebih bermakna ketika kita memiliki tujuan. Sama seperti mendaki gunung, memiliki tujuan memberikan arah dan alasan untuk terus bergerak. Tanpa tujuan, perjalanan akan terasa hampa. Namun, dengan tujuan, setiap langkah yang diambil, meski berat, menjadi berarti. Pemandangan indah di puncak Gunung Pangradinan adalah hadiah dari perjuangan kami melewati tanjakan yang melelahkan. Demikian pula dalam hidup, setiap keberhasilan yang diraih adalah hasil dari kerja keras dan tekad yang kuat.


Hiking ke Gunung Pangradinan memberikan saya perspektif baru tentang cara menikmati hidup. Terkadang, kita terlalu sibuk dengan rutinitas sehari-hari hingga lupa untuk menghargai hal-hal sederhana di sekitar kita. Padahal, kebahagiaan sering kali tersembunyi dalam momen-momen kecil – seperti menikmati udara segar di pagi hari, berbagi tawa dengan teman-teman, atau sekadar duduk diam di puncak gunung sambil memandangi keindahan alam. Perjalanan ini juga menjadi pengingat bahwa hidup tidak melulu tentang pencapaian besar. Kadang, kebahagiaan sejati ada pada hal-hal sederhana yang kita lakukan dengan sepenuh hati.

Saya pulang dari perjalanan ini dengan tubuh lelah tetapi hati yang penuh rasa syukur. Pengalaman mendaki Gunung Pangradinan mengajarkan saya banyak hal tentang hidup, perjuangan, dan kebahagiaan. Setelah kesulitan mendaki, kami disuguhi pemandangan indah yang seolah menghapus segala rasa lelah. Sama seperti dalam hidup, setiap kesulitan yang kita alami adalah bagian dari perjalanan menuju sesuatu yang lebih baik. Selama kita memiliki tujuan dan kemauan untuk berjuang, hidup akan selalu memberikan kita alasan untuk tersenyum. Dan pada akhirnya, semua perjuangan akan terbayar dengan keindahan yang tak ternilai.

Komentar