“Mom, dapat kura-kura untuk tugas mini zoo dari mana?” tanya seorang ibu pada temannya sesama wali murid SD. “Saya dapat kura-kura dari online, bayarnya COD,” jawabnya. “Ibu X juga dapat tarantula dari online, sama kayak saya, COD juga, soalnya kan biar memastikan barangnya sampai dan sesuai.” Demikianlah sepenggal obrolan di antara orang tua wali murid saat membantu anak-anak mereka mengerjakan tugas dari sekolah. Cerita ini saya dengar dari teman saya di tempat kerja saat kami berbincang saat makan siang hari ini.
Perbincangan tersebut berlanjut ke topik yang lebih luas: bagaimana belanja online di berbagai aplikasi marketplace menjadi hal tak terpisahkan dalam memenuhi kebutuhan juga keinginan manusia. Apapun yang diinginkan, kita tinggal mencarinya. Mulai dari kebutuhan rumah tangga yang primer, sekunder, hingga barang-barang yang mungkin tidak penting. Bahkan barang yang absurd dan aneh pun ada. Contohnya angin dalam kemasan sachet dari Tiongkok, menjual cinta dalam bentuk gambar “love”, hingga benda-benda untuk keperluan perdukunan. Anehnya, selalu ada pembelinya.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perkembangan teknologi, tetapi juga bagaimana manusia modern berinteraksi dengan dunia konsumsi. Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, kita dapat membicarakannya dengan menggunakan teori konsumerisme Jean Baudrillard, seorang filsuf asal Prancis yang dikenal karena pemikirannya tentang masyarakat modern dan budaya konsumsi.
Konsumerisme dalam Perspektif Jean Baudrillard
Jean Baudrillard mengemukakan bahwa konsumerisme bukan sekadar tindakan membeli barang untuk memenuhi kebutuhan, melainkan sebuah konstruksi budaya yang sangat simbolis. Dalam pandangannya, masyarakat modern tidak hanya mengonsumsi barang, tetapi juga mengonsumsi makna dan simbol yang melekat pada barang tersebut. Baudrillard memperkenalkan konsep simulacra dan hiperrealitas untuk menjelaskan bagaimana realitas yang kita alami sering kali merupakan hasil konstruksi simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya konsumsi.
Marketplace online, sebagai wujud modern dari konsumsi massal, menjadi medan yang subur bagi lahirnya simulacra. Barang-barang yang dijual tidak lagi hanya dilihat dari nilai gunanya (“use value”), tetapi dari nilai simbolis (“sign value”) yang mereka tawarkan. Misalnya, membeli kura-kura atau tarantula untuk tugas sekolah bukan hanya soal memenuhi kebutuhan akademik anak, tetapi juga bisa menjadi simbol tanggung jawab orang tua atau bahkan status sosial di kalangan komunitas sekolah. Hal ini sejalan dengan pandangan Baudrillard bahwa barang tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga kebutuhan sosial dan psikologis yang dibentuk oleh masyarakat.
Simulacra dan Hiperrealitas dalam Marketplace Online
Marketplace online menciptakan lingkungan yang sangat mendukung lahirnya simulacra. Barang-barang yang dijual sering kali tidak hanya dipromosikan berdasarkan fungsinya, tetapi juga pada citra yang melekat pada barang tersebut. Misalnya, angin dalam kemasan sachet dari Tiongkok bukanlah barang yang memiliki fungsi nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun, pembeli tertarik karena simbol dan narasi yang melekat padanya: unik, lucu, atau bahkan absurd. Dengan kata lain, pembelian barang tersebut bukan didorong oleh kebutuhan praktis, tetapi oleh daya tarik simboliknya.
Dalam dunia marketplace, citra barang sering kali lebih penting daripada barang itu sendiri. Foto-foto yang menarik, deskripsi produk yang kreatif, serta ulasan dari pembeli sebelumnya menciptakan ilusi atau hiperrealitas yang menggoda konsumen untuk membeli. Konsumen tidak lagi membeli “realitas” barang, tetapi citra atau simulasi yang diciptakan oleh marketplace.
Menurut Baudrillard, konsumerisme modern sering kali menghasilkan kepuasan semu. Dalam konteks marketplace online, konsumen merasa puas ketika membeli barang-barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan. Kepuasan ini bukan berasal dari pemenuhan kebutuhan nyata, tetapi dari rasa memiliki simbol atau citra tertentu. Misalnya, orang yang membeli barang-barang absurd seperti benda-benda perdukunan mungkin merasa puas karena mereka telah “mengalami” sesuatu yang unik, meskipun barang tersebut tidak memiliki nilai guna yang jelas.
Baudrillard juga menyebutkan bahwa masyarakat konsumsi modern hidup dalam siklus tanpa akhir: keinginan, pembelian, dan keinginan baru. Marketplace online mempercepat siklus ini dengan terus menawarkan barang-barang baru yang menggoda. Fitur seperti COD, diskon besar-besaran, dan iklan yang personalisasi semakin mendorong konsumen untuk terus berbelanja, bahkan tanpa alasan yang rasional.
Teknologi dan Alienasi Konsumen
Baudrillard juga mengkritik bagaimana teknologi modern berkontribusi pada alienasi manusia dari realitas. Marketplace online menciptakan jarak antara konsumen dan realitas barang yang mereka beli. Konsumen tidak pernah benar-benar melihat atau menyentuh barang tersebut sebelum barang tiba di rumah mereka. Mereka hanya melihat citra digital yang sering kali telah dimanipulasi untuk menciptakan kesan tertentu. Hal ini menciptakan pengalaman konsumsi yang sepenuhnya terisolasi dari realitas fisik.
Ini terjadi pada saya juga mungkin anda sekalian dimana kita memutuskan membeli sesuatu secara online karena tertarik dengan citra digital yang diciptakan penjual. Saat pesanannya datang, barang yang kita terima jauh dari citra digitalnya dan mengecewakan.
Alienasi ini juga terlihat dalam cara marketplace online memfasilitasi pembelian barang-barang yang tidak masuk akal. Dalam kehidupan nyata, orang mungkin berpikir dua kali sebelum membeli angin dalam kemasan sachet. Namun, dalam dunia digital, pembelian semacam itu terasa lebih mudah dan kurang menimbulkan pertimbangan rasional. Konsumen menjadi semakin teralienasi dari nilai nyata barang yang mereka beli.
Fenomena belanja online yang semakin masif menunjukkan bagaimana budaya konsumsi telah berkembang menjadi sesuatu yang jauh melampaui pemenuhan kebutuhan dasar. Marketplace online tidak hanya menyediakan barang-barang untuk kebutuhan hidup, tetapi juga menciptakan dunia simbol dan citra yang menggoda konsumen untuk membeli hal-hal yang tidak mereka butuhkan. Analisis menggunakan teori konsumerisme Jean Baudrillard mengungkapkan bahwa fenomena ini adalah bagian dari simulacra dan hiperrealitas yang mendominasi masyarakat modern.
Dalam dunia yang semakin didominasi oleh teknologi, kita perlu menyadari bahwa konsumsi tidak lagi sekadar soal membeli barang, tetapi juga soal bagaimana kita memahami realitas. Dengan memahami teori Baudrillard, kita dapat lebih kritis terhadap keputusan konsumsi kita dan mulai memisahkan kebutuhan nyata dari ilusi yang diciptakan oleh budaya konsumsi. Akhirnya, kita dapat bertanya pada diri sendiri: apakah yang kita beli benar-benar kita butuhkan, ataukah hanya sekadar simbol yang memuaskan rasa ingin tahu sesaat?
Komentar
Posting Komentar