Gemercik
hujan tengah malam ini masih hadir. Setelah tadi sore hujan turun dengan
derasnya membasahi Bandung Timur. Suasana malam ini cukup hening membuat saya
ingin kembali berlatih menulis. Sebuah tulisan sudah selesai kemudian saya
kirimkan pada mentor menulis. Semoga saya bisa mengikuti
arahan-arahannya.
Mata ini
rupanya belum mau terpejam. Sehingga saya memutuskan untuk melanjutkan menulis
di blog. Sebuah tema belum terpikir sampai paragraf yang saya tulis ini.
Biarlah...menulis ya menulis saja dulu. Semoga ditengah perjalanan ada satu
tema yang bisa saya tuliskan.
Manusia
manapun di muka bumi ini tidak bisa hidup sendiri. Ia membutuhkan orang lain.
Meski orang tersebut menyangkal bawa ia membutuhkan orang lain, tetap saja
kenyataanya dia bisa hadir di muka bumi ini karena jasa manusia yang lain.
Bahkan setelah nyawa lepas dari badan pun, ia membutuhkan orang lain mengurusi
mayatnya. Jadi mengapa ada orang yang suka mengambil jarak dengan orang lain
dan mengabaikannya?
Memang
hak seseorang bersikap seperti apa pun pada yang lain. Kita pun memiliki
pilihan bebas untuk mensikapi kelakuannya. Hal baik yang terpikir saat ini
ialah setiap orang pasti memiliki alasan atas sikap dan tindakan yang
dilakukannya. Jadi respon baik atau buruk dari luar tidak akan mempengaruhi
kondisi mental kita. Bukti bahwa kita tidak terpengaruh ialah tetap merespon
positif apapun yang ditemui.
Kita
tidak bisa memaksakan kepada orang lain untuk menyukai kita. Agar bisa akrab
atau mungkin bersahabat dengannya. Semuanya terjadi mengalir begitu saja.
Biasanya orang yang memiliki banyak persamaan cenderung bisa bersama dan
bersahabat. Benarkah persamaan bisa menyatukan seseorang dalam sebuah
persahabatan? Apa kegunaan yang bisa ditarik dari yang sama? Kalau begitu yang
berlawananlah yang akan bersahabat? Tapi tidak mungkin kiranya yang baik akan
rela bersahabat dengan yang jahat. Prinsipnya yang sama tidak bisa menjadi
sahabat yang sama, dan yang saling berlawanan juga tidak saling menjadi
sahabat.
Kalau
begitu, sebenarnya siapakah subjek dan objek persahabatan? Dengan berasumsi
bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa bersahabat dengan kejahatan, Sokrates
menyimpulkan, “hanya apa yang tidak baik dan tidak jahat yang bisa bersahabat
dengan kebaikan dan hanya dengan dia” [216e]. Lebih lanjut, Sokrates
mempermudah jalan berpikir kita dengan kiasan tubuh, penyakit, obat/tabib, dan
kesehatan. Sebagaimana tubuh bersahabat dengan obat-obatan/tabib karena (διά,
dia) suatu penyakit, “apa yang tidak baik dan tidak jahat menjadi sahabat
kebaikan akibat hadirnya kejahatan” (διά το κακόν, dia to kakon) [217b]—dengan
catatan bahwa hadirnya kejahatan itu belum telanjur menjadikannya benar-benar
jahat. Dialog tentang persahabatan ini bisa kita temukan dalam buku Lysis
karangan Platon yang diterjemahkan oleh A.Setyo Wibowo.
Haduh...ngantuk
mulai menyerang, tapi tanggung banget baru saja tema tentang persahabatan ala
Platon muncul. To be contiued aja deh...besok semoga bisa dilanjutkan
Lysis awalnya mengamini
argumen Sokrates bahwa yang sama bersahabat dengan yang sama. Namun,
yang sama toh tidak bisa menarik kegunaan apa pun dari yang sama—maka,
untuk apa saling bersahabat? Kalau begitu, yang saling berlawananlah
yang saling bersahabat. Akan tetapi, tidak mungkin kiranya orang baik
akan rela bersahabat dengan orang jahat—maka argumen kedua juga ditolak.
Jadi, prinsipnya, “Yang sama tidak bisa menjadi sahabat yang sama, dan
yang saling berlawanan juga tidak saling menjadi sahabat.” [216b]. Kalau
begitu, sebenarnya (si)apakah subjek dan objek persahabatan? Dengan
berasumsi bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa bersahabat dengan
kejahatan, Sokrates menyimpulkan, “hanya apa yang tidak baik dan tidak
jahat yang bisa bersahabat dengan kebaikan dan hanya dengan dia” [216e].
Lebih lanjut, Sokrates mempermudah jalan berpikir kita dengan kiasan
tubuh, penyakit, obat/tabib, dan kesehatan. Sebagaimana tubuh bersahabat
dengan obat-obatan/tabib karena (διά, dia) suatu penyakit, “apa yang
tidak baik dan tidak jahat menjadi sahabat kebaikan akibat hadirnya
kejahatan” (διά το κακόν, dia to kakon) [217b]—dengan catatan bahwa
hadirnya kejahatan itu belum telanjur menjadikannya benar-benar jahat.
Maka, kejahatan adalah causa efficiens persahabatan. Mengenai causa
finalis persahabatan, Sokrates menegaskan bahwa sebagaimana tubuh
bersahabat dengan obat/tabib demi (ένεκα, heneka) kesehatan yang adalah
kebaikan, “seseorang menjadi sahabat bagi sahabatnya demi mendapatkan
sahabat [lain]” [219b]. Celakanya, jika prinsip ini diteruskan maka
persahabatan akan memiliki tingkat-tingkat obyek tanpa akhir. Maka,
perlu ada sahabat pertama (προτον φιλον, proton philon) yang menjadi
cakrawala dan “dicintai (menjadi objek persahabatan) bukan demi
persahabatan dengan sesuatu” [220b]. Proton philon itu tak lain adalah
Kebaikan. Nah, inilah persahabatan segitiga à la Platon: selain menjalin
hubungan resiprokal (timbal balik) satu sama lain, sepasang sahabat
juga memiliki aspirasi yang sama terhadap Kebaikan. Kebaikan menjadi
pihak ketiga yang dicintai secara sepihak (nonresiprokal) oleh
masing-masing sahabat. Dengan demikian, secara unik Kebaikan memperkokoh
suatu persahabatan antardua orang tetapi sekaligus membuat ikatan itu
relatif; tidak niscaya kekal. Sejalan dengan prinsip ini, tawuran
antargeng adalah contoh sempurna untuk persahabatan yang berlandaskan
bukan Kebaikan, melainkan thumos (θυμος) belaka—aku membela sahabatku
dari musuh hanya karena harga diri atau gengsi. Pertanyaannya sekarang:
mengapa kita bisa beraspirasi pada Kebaikan? Sokrates dan Lysis sepakat
bahwa bukan karena kejahatan, melainkan karena nafsulah (epithumia) kita
dapat menghasrati Kebaikan. Jadi, kejahatan (hal eksternal) sebagai
sumber aspirasi terhadap Kebaikan akhirnya ditolak dan digantikan
nafsu/hasrat (hal internal). Dan, oleh karena nafsu menghasrati
Kebaikan, menurut Sokrates kita pun sesungguhnya seketurunan (oικείον,
oikeion) dengan Kebaikan, bahkan lebih seketurunan daripada dengan
orangtua sendiri. Hanya dengan beraspirasi pada Kebaikanlah jiwa
seseorang menemukan relasi seketurunan dengan obyek persahabatan
miliknya yang paling khas (oikeion).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platon_54ff5809a33311c44f50f969
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platon_54ff5809a33311c44f50f969
Lysis awalnya mengamini
argumen Sokrates bahwa yang sama bersahabat dengan yang sama. Namun,
yang sama toh tidak bisa menarik kegunaan apa pun dari yang sama—maka,
untuk apa saling bersahabat? Kalau begitu, yang saling berlawananlah
yang saling bersahabat. Akan tetapi, tidak mungkin kiranya orang baik
akan rela bersahabat dengan orang jahat—maka argumen kedua juga ditolak.
Jadi, prinsipnya, “Yang sama tidak bisa menjadi sahabat yang sama, dan
yang saling berlawanan juga tidak saling menjadi sahabat.” [216b]. Kalau
begitu, sebenarnya (si)apakah subjek dan objek persahabatan? Dengan
berasumsi bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa bersahabat dengan
kejahatan, Sokrates menyimpulkan, “hanya apa yang tidak baik dan tidak
jahat yang bisa bersahabat dengan kebaikan dan hanya dengan dia” [216e].
Lebih lanjut, Sokrates mempermudah jalan berpikir kita dengan kiasan
tubuh, penyakit, obat/tabib, dan kesehatan. Sebagaimana tubuh bersahabat
dengan obat-obatan/tabib karena (διά, dia) suatu penyakit, “apa yang
tidak baik dan tidak jahat menjadi sahabat kebaikan akibat hadirnya
kejahatan” (διά το κακόν, dia to kakon) [217b]—dengan catatan bahwa
hadirnya kejahatan itu belum telanjur menjadikannya benar-benar jahat.
Maka, kejahatan adalah causa efficiens persahabatan. Mengenai causa
finalis persahabatan, Sokrates menegaskan bahwa sebagaimana tubuh
bersahabat dengan obat/tabib demi (ένεκα, heneka) kesehatan yang adalah
kebaikan, “seseorang menjadi sahabat bagi sahabatnya demi mendapatkan
sahabat [lain]” [219b]. Celakanya, jika prinsip ini diteruskan maka
persahabatan akan memiliki tingkat-tingkat obyek tanpa akhir. Maka,
perlu ada sahabat pertama (προτον φιλον, proton philon) yang menjadi
cakrawala dan “dicintai (menjadi objek persahabatan) bukan demi
persahabatan dengan sesuatu” [220b]. Proton philon itu tak lain adalah
Kebaikan. Nah, inilah persahabatan segitiga à la Platon: selain menjalin
hubungan resiprokal (timbal balik) satu sama lain, sepasang sahabat
juga memiliki aspirasi yang sama terhadap Kebaikan. Kebaikan menjadi
pihak ketiga yang dicintai secara sepihak (nonresiprokal) oleh
masing-masing sahabat. Dengan demikian, secara unik Kebaikan memperkokoh
suatu persahabatan antardua orang tetapi sekaligus membuat ikatan itu
relatif; tidak niscaya kekal. Sejalan dengan prinsip ini, tawuran
antargeng adalah contoh sempurna untuk persahabatan yang berlandaskan
bukan Kebaikan, melainkan thumos (θυμος) belaka—aku membela sahabatku
dari musuh hanya karena harga diri atau gengsi. Pertanyaannya sekarang:
mengapa kita bisa beraspirasi pada Kebaikan? Sokrates dan Lysis sepakat
bahwa bukan karena kejahatan, melainkan karena nafsulah (epithumia) kita
dapat menghasrati Kebaikan. Jadi, kejahatan (hal eksternal) sebagai
sumber aspirasi terhadap Kebaikan akhirnya ditolak dan digantikan
nafsu/hasrat (hal internal). Dan, oleh karena nafsu menghasrati
Kebaikan, menurut Sokrates kita pun sesungguhnya seketurunan (oικείον,
oikeion) dengan Kebaikan, bahkan lebih seketurunan daripada dengan
orangtua sendiri. Hanya dengan beraspirasi pada Kebaikanlah jiwa
seseorang menemukan relasi seketurunan dengan obyek persahabatan
miliknya yang paling khas (oikeion).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platon_54ff5809a33311c44f50f969
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platon_54ff5809a33311c44f50f969
Lysis awalnya mengamini
argumen Sokrates bahwa yang sama bersahabat dengan yang sama. Namun,
yang sama toh tidak bisa menarik kegunaan apa pun dari yang sama—maka,
untuk apa saling bersahabat? Kalau begitu, yang saling berlawananlah
yang saling bersahabat. Akan tetapi, tidak mungkin kiranya orang baik
akan rela bersahabat dengan orang jahat—maka argumen kedua juga ditolak.
Jadi, prinsipnya, “Yang sama tidak bisa menjadi sahabat yang sama, dan
yang saling berlawanan juga tidak saling menjadi sahabat.” [216b]. Kalau
begitu, sebenarnya (si)apakah subjek dan objek persahabatan? Dengan
berasumsi bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa bersahabat dengan
kejahatan, Sokrates menyimpulkan, “hanya apa yang tidak baik dan tidak
jahat yang bisa bersahabat dengan kebaikan dan hanya dengan dia” [216e].
Lebih lanjut, Sokrates mempermudah jalan berpikir kita dengan kiasan
tubuh, penyakit, obat/tabib, dan kesehatan. Sebagaimana tubuh bersahabat
dengan obat-obatan/tabib karena (διά, dia) suatu penyakit, “apa yang
tidak baik dan tidak jahat menjadi sahabat kebaikan akibat hadirnya
kejahatan” (διά το κακόν, dia to kakon) [217b]—dengan catatan bahwa
hadirnya kejahatan itu belum telanjur menjadikannya benar-benar jahat.
Maka, kejahatan adalah causa efficiens persahabatan. Mengenai causa
finalis persahabatan, Sokrates menegaskan bahwa sebagaimana tubuh
bersahabat dengan obat/tabib demi (ένεκα, heneka) kesehatan yang adalah
kebaikan, “seseorang menjadi sahabat bagi sahabatnya demi mendapatkan
sahabat [lain]” [219b]. Celakanya, jika prinsip ini diteruskan maka
persahabatan akan memiliki tingkat-tingkat obyek tanpa akhir. Maka,
perlu ada sahabat pertama (προτον φιλον, proton philon) yang menjadi
cakrawala dan “dicintai (menjadi objek persahabatan) bukan demi
persahabatan dengan sesuatu” [220b]. Proton philon itu tak lain adalah
Kebaikan. Nah, inilah persahabatan segitiga à la Platon: selain menjalin
hubungan resiprokal (timbal balik) satu sama lain, sepasang sahabat
juga memiliki aspirasi yang sama terhadap Kebaikan. Kebaikan menjadi
pihak ketiga yang dicintai secara sepihak (nonresiprokal) oleh
masing-masing sahabat. Dengan demikian, secara unik Kebaikan memperkokoh
suatu persahabatan antardua orang tetapi sekaligus membuat ikatan itu
relatif; tidak niscaya kekal. Sejalan dengan prinsip ini, tawuran
antargeng adalah contoh sempurna untuk persahabatan yang berlandaskan
bukan Kebaikan, melainkan thumos (θυμος) belaka—aku membela sahabatku
dari musuh hanya karena harga diri atau gengsi. Pertanyaannya sekarang:
mengapa kita bisa beraspirasi pada Kebaikan? Sokrates dan Lysis sepakat
bahwa bukan karena kejahatan, melainkan karena nafsulah (epithumia) kita
dapat menghasrati Kebaikan. Jadi, kejahatan (hal eksternal) sebagai
sumber aspirasi terhadap Kebaikan akhirnya ditolak dan digantikan
nafsu/hasrat (hal internal). Dan, oleh karena nafsu menghasrati
Kebaikan, menurut Sokrates kita pun sesungguhnya seketurunan (oικείον,
oikeion) dengan Kebaikan, bahkan lebih seketurunan daripada dengan
orangtua sendiri. Hanya dengan beraspirasi pada Kebaikanlah jiwa
seseorang menemukan relasi seketurunan dengan obyek persahabatan
miliknya yang paling khas (oikeion).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platon_54ff5809a33311c44f50f969
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platon_54ff5809a33311c44f50f969
Lysis awalnya mengamini
argumen Sokrates bahwa yang sama bersahabat dengan yang sama. Namun,
yang sama toh tidak bisa menarik kegunaan apa pun dari yang sama—maka,
untuk apa saling bersahabat? Kalau begitu, yang saling berlawananlah
yang saling bersahabat. Akan tetapi, tidak mungkin kiranya orang baik
akan rela bersahabat dengan orang jahat—maka argumen kedua juga ditolak.
Jadi, prinsipnya, “Yang sama tidak bisa menjadi sahabat yang sama, dan
yang saling berlawanan juga tidak saling menjadi sahabat.” [216b]. Kalau
begitu, sebenarnya (si)apakah subjek dan objek persahabatan? Dengan
berasumsi bahwa tidak ada satu hal pun yang bisa bersahabat dengan
kejahatan, Sokrates menyimpulkan, “hanya apa yang tidak baik dan tidak
jahat yang bisa bersahabat dengan kebaikan dan hanya dengan dia” [216e].
Lebih lanjut, Sokrates mempermudah jalan berpikir kita dengan kiasan
tubuh, penyakit, obat/tabib, dan kesehatan. Sebagaimana tubuh bersahabat
dengan obat-obatan/tabib karena (διά, dia) suatu penyakit, “apa yang
tidak baik dan tidak jahat menjadi sahabat kebaikan akibat hadirnya
kejahatan” (διά το κακόν, dia to kakon) [217b]—dengan catatan bahwa
hadirnya kejahatan itu belum telanjur menjadikannya benar-benar jahat.
Maka, kejahatan adalah causa efficiens persahabatan. Mengenai causa
finalis persahabatan, Sokrates menegaskan bahwa sebagaimana tubuh
bersahabat dengan obat/tabib demi (ένεκα, heneka) kesehatan yang adalah
kebaikan, “seseorang menjadi sahabat bagi sahabatnya demi mendapatkan
sahabat [lain]” [219b]. Celakanya, jika prinsip ini diteruskan maka
persahabatan akan memiliki tingkat-tingkat obyek tanpa akhir. Maka,
perlu ada sahabat pertama (προτον φιλον, proton philon) yang menjadi
cakrawala dan “dicintai (menjadi objek persahabatan) bukan demi
persahabatan dengan sesuatu” [220b]. Proton philon itu tak lain adalah
Kebaikan. Nah, inilah persahabatan segitiga à la Platon: selain menjalin
hubungan resiprokal (timbal balik) satu sama lain, sepasang sahabat
juga memiliki aspirasi yang sama terhadap Kebaikan. Kebaikan menjadi
pihak ketiga yang dicintai secara sepihak (nonresiprokal) oleh
masing-masing sahabat. Dengan demikian, secara unik Kebaikan memperkokoh
suatu persahabatan antardua orang tetapi sekaligus membuat ikatan itu
relatif; tidak niscaya kekal. Sejalan dengan prinsip ini, tawuran
antargeng adalah contoh sempurna untuk persahabatan yang berlandaskan
bukan Kebaikan, melainkan thumos (θυμος) belaka—aku membela sahabatku
dari musuh hanya karena harga diri atau gengsi. Pertanyaannya sekarang:
mengapa kita bisa beraspirasi pada Kebaikan? Sokrates dan Lysis sepakat
bahwa bukan karena kejahatan, melainkan karena nafsulah (epithumia) kita
dapat menghasrati Kebaikan. Jadi, kejahatan (hal eksternal) sebagai
sumber aspirasi terhadap Kebaikan akhirnya ditolak dan digantikan
nafsu/hasrat (hal internal). Dan, oleh karena nafsu menghasrati
Kebaikan, menurut Sokrates kita pun sesungguhnya seketurunan (oικείον,
oikeion) dengan Kebaikan, bahkan lebih seketurunan daripada dengan
orangtua sendiri. Hanya dengan beraspirasi pada Kebaikanlah jiwa
seseorang menemukan relasi seketurunan dengan obyek persahabatan
miliknya yang paling khas (oikeion).
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platondalam bukunya Lysis yang diterjemahkan oleh A.Setyo wibowo
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hireka.eric/persahabatan-a-la-platondalam bukunya Lysis yang diterjemahkan oleh A.Setyo wibowo
Komentar
Posting Komentar