Membongkar Kodrat Perempuan


“Perempuan bisa saja berkarir, berprestasi dan berkarya, tapi ingat! Jangan melanggar kodratnya”. Saya sering kali mendengar dan menjumpai perkataan ini dalam keseharian. Kata yang didalamnya terdapat pembolehan yang menempatkan perempuan sebagai manusia, sebagai subjek otonom yang bisa menentukan kemana arah hidupnya, namun diakhiri dengan sebuah batasan yang bernama “kodrat”? . Bahkan pada akhirnya batasan inilah yang mendominasi setiap langkah perempuan. Apakah sebenarnya kodrat itu? Kenapa akhirnya ia selalu digunakan untuk mengecilkan peran sosial perempuan?

            Kata kodrat sering digunakan untuk merepresentasikan peran perempuan menurut agama, terutama Islam. Sehingga daya ikatnya begitu kuat. Bila agama sudah mengeluarkan suatu larangan, maka hal tersebut bila dilanggar dihukumi haram. Seperti yang terdapat dalam kaidah Ushul Fiqh al-ashlu fi al-Nahyi li al-tahrim (asal dari larangan adalah haram). Larangan melanggar kodrat bagi seorang perempuan terus dipertahankan sampai saat ini. Tradisi pemahaman ini mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Sehingga pada saat seorang perempuan ingin mengaktualisasikan dirinya di ranah publik, maka secara otomastis larangan melanggar kodrat menyertainya.

            Pemahaman kata kodrat berpengaruh pada konsepsi perempuan tentang dirinya. Perempuan cenderung menganggap dirinya tidak sederajat dengan laki-laki. Hadirnya perempuan hanyalah sebagai pelengkap saja. Eksistensi perempuan hanya untuk laki-laki. Sehingga wajar saat ini di layar TV sering kita saksikan perempuan-perempuan yang mempercantik dirinya dan berlomba-lomba hanya untuk menarik perhatian laki-laki. Bahkan sampai terlibat konflik antar sesama perempuan demi mendapatkan laki-laki yang dicintai. Seolah itulah tujuan hidup dan kodrat seorang perempuan.

            Konsepsi diri perempuan di atas semakin menguatkan pandangan dunia yang ada tentang perempuan. Bahwa perempuan memang mahluk yang lemah, emosional, irasional, matrealis, licik, suka pamer, penggoda dan pencitraan negative lainnya. Sehingga wajar bila ada satu ungkapan “di balik kesuksesan seorang laki-laki ada cinta yang sukses dan di balik kesuksesan seorang perempuan ada cinta yang gagal”. Ungkapan ini di tuliskan Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir Perempuan  untuk memperlihatkan betapa subordinatifnya pandangan masyarakat terhadap perempuan. Kesuksesan seorang laki laki dalam kehidupan berbanding lurus dengan kesuksesan cintanya karena sesuai dengan kodrat. Sedangkan kesuksesan seorang perempuan dalam kehidupan berbanding terbalik dengan kesuksesan cintanya. Seolah hanya laki-laki yang boleh sukses di segala bidang kehidupan dan kesuksesan perempuan hanya akan menjadi biang masalah dalam hubungan pribadinya. Karena kesuksesan perempuan bisa dianggap faktor yang melanggar kodrat.       

            Pemahaman-pemahaman yang keliru tentang kodrat perempuan seharusnya diperiksa kembali secara cermat dan hati-hati karena kesimpulan keliru tidak hanya akan berdampak pada persoalan ilmu semata-mata. Tapi lebih jauh berdampak pada asasi kemanusiaan. Karena dengan pemahaman yang utuh dan benar berimplikasi pada kehidupan pada kehidupan yang berkeadilan.

            Kodrat berasal dari bahasa Arab qadara/qadira- yaqduru/yaqdiru- qudratan. Dalam kamus al-munjid fil-al-Lughah wa al-a’lam kata ini diartikan dengan qawiyyun ‘ala al-syai (kuasa mengerjakan sesuatu), ja’alahu ‘ala miqdarih (membagi sesuatu menurut porsinya) atau  qash-shara (memendekan/membatasi). Dari akar kata qadara/qadira ini juga lahir kata taqdir (qaddara-yuqaddiru-taqdir) yang berarti menentukan (ketentuan) atau menetapkan.. Demikian pula dalam kamus al-Munawwir yang mengartikan qudrah sebagai kekuatan, kekuasaan dan kemampuan. Dari akar kata ini kaitu kodrat (qudrah) dan taqdir (taqdir) dalam bahasa Indonesia sering dipakai dalam pengertian yang sama. Menunjuk pada “apa yang telah ditentukan Tuhan”. Sehingga kata kodrat dan takdir bermuara pada kekuasaan mutlak Tuhan.

            Kata kodrat dalam arti kemampuan, kekuasaan atau sifat bawaan menunjukan adanya keterlibatan aktif dari si pelaku terhadap apa yang bisa dilakukannya sendiri. Tanpa bergantung/terkait dengan selain dirinya. Kata kodrat kemudian lebih bermakana kemampuan yang bersumber dari dalam individu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (free will & free act). Sementara kata takdir (taqdir) dalam arti ketentuan/ketetapan menunjukan adanya sebuah garis kekuasaan harus tunduk patuh (bahkan tidak mampu mengelak dari) ketentuan yang berasal dari atas. Seperti pemberian alat kelamin pada manusia oleh Tuhan yang menentukan seseorang secara biologis laki-laki atau perempuan tanpa bisa ditawar. Seperti juga kematian yang tak ada seorang pun bisa mengelak dari takdir ini. Yang menentukan kematian bukan dirinya. Ia hanyalah menerima apa yang telah ditentukan atas dirinya. Dengan pengertian ini terlihat jelas bahwa dalam kata “takdir” terdapat 2 pelaku sekaligus. Pertama adalah yang membuat keputusan. Kedua adalah yang menjalankan keputusan. Disinilah letak perbedaan kata ‘kodrat” dan “takdir”.

Perbedan makna kodrat dan takdir dalam penggunaan bahasa sehari-hari seringkali diabaikan. Hal inilah yang melahirkan kekeliruan. Inilah yang terjadi ketika tak sadar memahami ”kodrat perempuan” sebagai takdir perempuan”. Akibatnya perempuan terjebak pada batasan-batasan yang sesungguhnya bukan ketentuan mutlak. Kemudian mengabaikan untuk melihat jauh secara seimbang persepsi kemampuan individual perempuan. Dari pengertian ini kodrat perempuan tidak mesti selalu diasosiasikan dengan sesuatu yang penuh dengan daerah terlarang.  Karena kodrat lebih bermakana kemampuan yang bersumber dari dalam individu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebuah kemampuan menentukan diri. Sehingga melanggar kodrat bukanlah sebuah kesalahan. Wallahu’alam

 #NulisRandom2015 Hari ke-11 repost tulisan jadoel.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue