Sungkan sekali saya saat akan menulis pengalaman bertemu dengan Katrin Bandel. Bukunya Sastra, Perempuan, Seks, habis saya baca sekitar tiga tahun lalu. Tulisannya yang kritis dan tajam mengupas karya sastra yang sedang populer di Indonesia membuat saya bisa menikmatinya. Padahal saya bukan orang yang sering membaca karya sastra. Jejak-jejak stabilo berwarna pink banyak menghiasi buku itu pertanda saya serius membacanya. Bukunya memang asyik, menganalisis karya sastra dengan gaya bertutur blak-blakan namun sangat argumentatif dan dalam. Buku keduanya Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas belum pernah saya baca. Bagaimana setelah bertemu dengan orangnya langsung?
Orangnya cukup ramah dan
menyenangkan. Jilbab yang dipakainya membuat saya merasa akrab meskipun baru
pertama kali bertemu. Pengalaman menjadi mualaf dan mulai memakai jilbab
menjadi hal istimewa yang saya dengarkan darinya sebelum dia menyampaikan
kuliah kepada kami. Beruntungnya saya diberikan kesempatan oleh Studia Humanika
Mesjid Salman ITB yaitu Kang Alfatri
Adlin dan Salim Rusli untuk menemaninya. Menemani makan siang sehingga bisa
berkenalan langsung dengannya.
Kuliah gender dan
pascakolonialitas dimulai pukul 13.20 WIB. Sekitar 30 orang sudah hadir
mengikuti kuliah kali ini. Ruang Aisyah yang dijadikan tempat kuliah, semakin
sesak ketika audiens terus bertambah. Audiens kuliah kali ini tidak hanya
mahasiswa saja, banyak pengajar dari beberapa perguruan tinggi, aktivis dan
beberapa profesional hadir. Kuliah dibuka oleh Salim Rusli dan mempersilahkan
Katrin sampai pukul 16.00 WIB.
Kartin mengawali kuliah dengan
memperkenalkan dirinya sebagai perempuan Jerman yang sudah 15 tahun tinggal di
Indonesia. Karakternya yang unik kalau tidak dibilang sinting oleh orang tuanya
membawanya sampai ke Indonesia dan sampai dititik ini menjadi muslimah
berjilbab. Hal tersebut dituturkan dengan ringan sehingga membuat audiens
tertawa. Sangat bagus untuk membuka sebuah pembahasan yang dalam.
Ambivalensi pengalaman perempuan
terjajah dengan tokoh Nyai Ontosoroh dalam tetralogi karya Pramoedya Ananta
Toer membuka kuliah kali ini. Menurutnya tokoh ini pada satu sisi mengalami
penindasan sebagai perempuan pribumi yang “dijual” pada laki-laki Belanda (penindasan
ganda: karena gendernya, dan karena rasnya). Di sisi lain ia juga mendapatkan nilai-nilai baru seputar
kesetaraan dan harga diri dari orang
Barat (tuannya, yaitu laki-laki berkulit
putih). Keistimewaan nyai Ontosoroh ialah ia menyadari ambivalensi ini.
Penjelasan Katrin tentang persoalan
utama perempuan di dunia pascakolonial menjadi mudah dipahami dengan melihat
tokoh nyai Ontosoroh ini. Di
satu sisi nilai yang berasal dari Barat, termasuk feminisme, layak diadopsi,
dan dapat digunakan dalam memperjuangkan keadilan. Di sisi lain, argumen “sok feminis”
seringkali digunakan untuk merendahkan budaya non-Barat. (perempuan “tertindas”
= tanda inferioritas, ketertinggalan).
Untuk menjelaskan kompleksnya
permasalahan gender dalam konteks pascakolonial, Katrin menggunakan tiga
ilustrasi. Pertama peristiwa Sati (India) dalam esainya Gayatri Spivak (1988),
kedua Heteronormalisasi dalam Islam Georg Klauda dan ketiga wacana jilbab Fadwa
el Guindi.
Esai Gayatri Spivak ini berjudul ‘Can
Subaltern Speak?” Subaltern merupakan pihak yang tertindas atau terdominasi. Dalam
konteks kolonialisme subaltern tidak memiliki sejarah dan tidak bisa berbicara.
Seperti seorang perempuan yang melakukan Sati (India). Sati merupakan
prosesi seorang janda “membakar diri” (melompat ke dalam api) pada saat jenazah
suaminya dibakar. Ternyata pihak yang berbeda akan memberikan perspektif
berbeda sesuai dengan posisi dimana ia berada.
Perspektif penjajah Inggris
melihat Sati ialah tindakan kriminal yang kejam terhadap perempuan. Sehingga
janda yang dipaksa membakar diri harus diselamatkan. Di sini berarti laki-laki
kulit putih menyelamatkan perempuan coklat dari laki-laki coklat. Laki-laki
putih menjadi pahlawan. Gambar yang
mengilustrasikannya Sati dari perpektif penjajah Inggris ini karya Guilio
Ferrario tahun 1816 memperlihatkan betapa gambar terlihat dramatis dan
mengerikan. Janda didorong oleh masyarakat masuk kedalam kobaran api. Mati
sia-sia menemani sang suami.
Berbeda dengan perspektif pribumi
laki-laki di India. Menurutnya dalam Sati, perempuan membakar dirinya atas
kehendaknya sendiri sebagai tanda kesetiaan dan keberaniannya pantas dikagumi. Sati
menunjukan ‘keindiaan’ sebagai sebuah ‘jati diri’. Gambar yang
mengilustrasikannya memperlihatkan perempuan yang bercahaya dan tersenyum
disamping laki-laki yang terbakar. Dewa Krisna melindunginya dengan memancarkan
sinar ke kepala sang perempuan. Latar lukisan ini begitu indah sepertinya
perempuan ini sedang berada di syurga. Lalu bagaimanakah perspektif perempuan
yang mengalami sati? Ia tentu saja tidak bisa berbicara karena sudah mati.
Ilustrasi Sati ini memperlihatkan
bahwa penjajah memiliki misi pemberadaban. Bangsa yang dijajah (pribumi) tidak
bisa mengurus dirinya sendiri. Mereka harus diurusi dan diselamatkan. Hal ini
menjadi tugas bangsa Eropa untuk memajukan mereka. Hadirnya kolonialisme
merupakan tugas mulia bukan kedzoliman. Di antara tugasnya ialah memperbaiki nasib kaum perempuan.
Feminisme hadir sebagai salah satu bentuk misi
pemberadaban.
Ilustrasi kedua ialah Heteronormalisasi
dalam Islam Georg Klauda. Orang Islam dalam asumsi Barat umumnya tertutup dan
tidak toleran terhadap gay/lesbian. Sehingga pemerintah negara bagian Baden-Württemberg tahun 2005/2006 menggunakan
asumsi ini khusus dalam mewawancarai
imigran Muslim yang bermaksud menetap di Jerman. Imigran yang bukan
muslim tidak diberikan pertanyaan ini. Pertanyaan yang diajukan adalah “Bayangkan
anak laki-laki Anda yang sudah dewasa datang pada Anda lalu menyampaikan bahwa
dirinya homoseksual dan ingin hidup bersama dengan seorang laki-laki. Bagaimana reaksi Anda?”. Hal
ini bertujuan memastikan apakah pandangan-pandangan imigran ini “sesuai dengan
nilai Barat?”. Kenyataannya homofobia
tetap sangat kuat di negara-negara Barat (menurut survey TNS Emnid tahun 2001,
80 % laki-laki Jerman akan memberi respon negatif seandainya salah satu anaknya
menjadi gay/lesbian). Jadi yang yang disebut sesuai dengan nilai barat
dengan memiliki toleransi terhadap homoseksualitas kenyataanya tidak beralasan.
Di dunia Islam menurut Georg
Klauda homoerotis antara dua laki-laki merupakan hal biasa. Hal ini bisa
ditemukan dalam Puisi Abu Nawas (756-814)
yang menggambarkan hal tersebut. Homoerotis berbeda dengan homoseksual. Dalam
homoerotis hubungan seksual antar laki-laki bersifat sementara dan hanya berupa
tindakan saja dan diperlakukan sebagai pelanggaran biasa. Pelakunya kemudian
bisa menikah dengan perempuan. Sedangkan homoseksual bersifat permanen sebagai
sebuah identitas dan hal ini dianggap kejahatan. Homoerotis sudah berlangsung
lama dalam peradaban manusia, sedangkan homoseksual merupakan hal baru yang
muncul pada abad ke 19 dengan tokoh yaitu Michel Foucault.
Penjajah Eropa membawa homofobia
ke dalam dunia Islam. Hubungan antar laki-laki yang sebelumnya dianggap wajar,
dipandang menjijikan oleh orang Eropa. Kaum pribumi terpelajar (dalam arti: berpendidikan ala Eropa) mengadopsi
homofobia penjajah. Yang dipandang sebagai prilaku “beradab” adalah menjauhi
sama sekali hubungan homoerotis. Sehingga bila ada laki-laki yang
bersahabat lalu berpegangan tangan dianggap hal memalukan. Apalagi bila memiliki perasaan mendalam sebagai
seorang sahabat. Padahal dalam tradisi Islam sangat mungkin dua orang laki-laki
memiliki ikatan persahabatan yang erat bahkan bisa saling bertaruh nyawa dan mereka bukan homoseksual.
Ilustrasi yang ketiga untuk
melihat kompleksitas gender pascakolonialitas ialah wacana tentang jilbab.
Eurocentrisme wacana feminis melihat bahwa persoalan yang dihadapi perempuan
seakan-akan sama seluruh dunia. Semua perempuan dianggap memiliki kebutuhan
yang sama yaitu mencapai “kebebasan” dan “kemajuan” versi Barat. Sehingga
jilbab dalam pandangan Eurocentrisme menjadi lambang ketertindasan perempuan
dan menjadi indikasi keterbelakangan sebuah bangsa. Padahal jilbab memiliki
konteks hiistorisnya sendiri. Hal ini dibahas oleh Fadwa El Guindi ‘Veiling Resistance’ (1999).
Jilbab dalam konteks historisnya di
Mesir tahun 70an ialah
ada gerakan mahasiswa (gerakan
dari bawah, bukan atas inisiatif institusi agama/negara) yang menggunakan
“pakaian Islami”. Pakaian tersebut mereka jahit sendiri karena belum dijual di
toko-toko. makna pakaian tersebut: melawan nilai-nilai Barat seperti
materialisme, konsumerisme. Sedangkan jilbab dalam konteks ke dua juga
di Mesir pada zaman kolonial: unveiling (membuka penutup wajah) menjadi
simbol penting yang menandakan “kemajuan”. Aksi unveiling feminis Huda
Sha’rawi (1923) menjadi debat pro-kontra jilbab mendominasi wacana terutama
antara laki-laki. Dalam konteks ketiga di Iran: Shah melarang jilbab/chador dalam rangka modernisasi/
westernisasi (1938). Setelah
revolusi Islam, di bawah perintah Ayatollah Khomeini hijab diwajibkan.
Dari ketiga konteks jilbab ini, jilbab kerap dijadikan simbol, namun tepatnya
makna apa tergantuk konteks yang sedang terjadi. Maka sangat sembrono kalau
kita atau Feminis Barat menilainya sebagai simbol penindasan perempuan.
Setelah menyimak dan mencoba
memahami kuliah gender dan pascakolonialitas ini, saya menjadi paham kenapa
sekencang apapun seorang muslimah berbicara tentang gender, maka ia tetap
dianggap berhutang kepada Feminis Barat. Feminis Barat sudah lebih dahulu
melaksanakan/menginternalisasi wacana feminis dalam keseharian mereka,
sedangkan perempuan muslim baru memperbincangkan konsepnya saja. Meski mungkin
sudah banyak yang dilakukan para muslimah. Memang, dikatakan bahwa feminisme
itu laksana pelangi, tidak seragam. Dimana ada penindasan perempuan maka
disanalah feminisme ada. Tapi kenapa harus memakai istilah feminisme? Atau juga dikatakan feminisme seperti pohon
yang memiliki cabang yang banyak, tiap cabang terus berkembang. Bagaimana kalau
sekiranya apa yang dilakukan muslimah dalam pembebasan perempuan tidak berasal
dari pohon yang sama? Siapa yang mengatakan bersumber dari pohon yang sama? Jangan-jangan
intelektual perempuan yang konsen dengan feminisme juga memiliki idiologi
kolonial dimana segala dari Barat itu beradab dan non Barat belum beradab. Kuliah
dengan Katrin Bandel ini justru membuat
saya memiliki banyak pertanyaan dan kecurigaan hehehe.
#NulisRandom2015 hari ke-8.
Komentar
Posting Komentar