Hati Memiliki Alasannya Sendiri
Hati memiliki alasannya sendiri sementara alasan tak selalu bisa dipahami ( Blaise Pascal )
Mencoba mengenang perjalanan sebelas tahun lalu menjelang pernikahan. Saat itu betul-betul saya mengikuti kata hati. Bahkan logikapun nyaris ditanggalkan. Boleh jadi ungkapan Pascal di atas betul-betul saya jalankan. Mengikuti kata hati.
Menjadi seorang aktifis dengan segudang kegiatan membuat saya nyaris tak memiliki waktu untuk diri sendiri. Setiap hari selalu bergerak menyelesaikan satu urusan menuju urusan yang lain. Mengelola rental komputer dengan adik di kostan, lalu kuliah, pergi ke sekre, kursus bahasa, ngaji, rapat redaksi, berahir malam di kostan dengan menyusun skripsi.
Waktu bergerak begitu cepat sehingga dalam benak saya tak ada pikiran untuk pernikahan. Apalagi memikirkan kriteria suami yang diidamkan. Hanya satu hal yang saya percaya bahwa "yang baik akan mendapatkan yang baik". Bila ingin mendapatkan pasangan yang baik, maka baikkan dulu diri sendiri. Bila ingin mendapatkan pasangan yang sholeh maka sholehahkan dulu diri sendiri. Saya bertekad, sebelum menikah saya tidak akan pacaran. Pacaran akan saya jalankan setelah menikah. Naif ? silahkan mau dikatakan seperti itu pun tak apa.
Tingkat empat merupakan waktu terefektif dalam perkuliahan yang saya jalankan. Studi wanita UI kerap saya datangi untuk bahan skripsi. Kolese St. Ignatius Jogja pun didatangi demi mencari buku-buku Foucault yang saat itu belum ada terjemahnya dan masih sulit ditemui. Informasi beasiswa luar negri sudah saya kumpulkan. Pameran pendidikan luar negri saya juga datangi. Meneruskan kuliah di luar negri merupakan impian yang akan diwujudkan.Satu hal yang sangat penting untuk mewujudkan itu semua adalah TOEFL saya harus diatas 500. Kursus bahasa Inggirs merupakan sebuah kewajiban.
Dua hari mengikuti kursus, wajah pengajar bahasa Inggris tersebut tidak mau hilang dalam ingatan saya. Saya mengadukan permasalahan ini pada teman. Dia hanya tertawa geli melihat saya tumben tumbennya ngomongin laki-laki. Terus terang saya bingung dengan hal ini karena secara estetika guru kursus tersebut pas pasan.
Saat ini wajah itulah yang setiap pagi saya lihat ketika bangun tidur. Sebelas tahun sudah ia menjadi bagian dari hidup ini. Lamarannya tidak bisa ditolak begitu saja karena strategi yang dijalankan sangat jitu. Menembak tepat pada sasaran yaitu orang tua dan guru ngaji. Dua pihak yang otoritasnya begitu besar pada diri saya.
Saya menyetujui lamarannya dengan syarat bahwa saya boleh meneruskan kuliah dimana pun dan setinggi apapun yang saya inginkan serta boleh mengajar. Ia menyanggupi dan mengatakan tak perlu sebuah kertas dan matrai untuk meneguhkannya, cukup syahadat sebagai mu'min jadi garansinya. Bila ia khianat terhadap syarat yang saya ajukan maka ia bukanlah seorang mu'min.Karena menurutnya syarat yang saya ajukan merupakan kewajiban semua mu'min. Syarat ini ia jalankan sampai hari ini.
Menikah di usia 22 tahun bila saya renungkan saat ini betapa sangat muda. Menggeser sebuah mimpi dengan mimpi lain dengan cepat sangat tidak logis. Lebih mengikuti kata hati itulah yang saya jalankan. Memang benar kata Pascal hati memiliki alasannya sendiri. Sebelas tahun ini saya semakin mengenal diri sendiri. Terus bergandengan tangan untuk menjadi lebih baik lagi, terutama di hadapanNya. Semoga saya bisa menjadi motivator dan dinamisator bagi qowwam keluarga ini. Ah...terimakasih Sang pembuat sekenario hidup ini! Terus bimbing kami
Mencoba mengenang perjalanan sebelas tahun lalu menjelang pernikahan. Saat itu betul-betul saya mengikuti kata hati. Bahkan logikapun nyaris ditanggalkan. Boleh jadi ungkapan Pascal di atas betul-betul saya jalankan. Mengikuti kata hati.
Menjadi seorang aktifis dengan segudang kegiatan membuat saya nyaris tak memiliki waktu untuk diri sendiri. Setiap hari selalu bergerak menyelesaikan satu urusan menuju urusan yang lain. Mengelola rental komputer dengan adik di kostan, lalu kuliah, pergi ke sekre, kursus bahasa, ngaji, rapat redaksi, berahir malam di kostan dengan menyusun skripsi.
Waktu bergerak begitu cepat sehingga dalam benak saya tak ada pikiran untuk pernikahan. Apalagi memikirkan kriteria suami yang diidamkan. Hanya satu hal yang saya percaya bahwa "yang baik akan mendapatkan yang baik". Bila ingin mendapatkan pasangan yang baik, maka baikkan dulu diri sendiri. Bila ingin mendapatkan pasangan yang sholeh maka sholehahkan dulu diri sendiri. Saya bertekad, sebelum menikah saya tidak akan pacaran. Pacaran akan saya jalankan setelah menikah. Naif ? silahkan mau dikatakan seperti itu pun tak apa.
Tingkat empat merupakan waktu terefektif dalam perkuliahan yang saya jalankan. Studi wanita UI kerap saya datangi untuk bahan skripsi. Kolese St. Ignatius Jogja pun didatangi demi mencari buku-buku Foucault yang saat itu belum ada terjemahnya dan masih sulit ditemui. Informasi beasiswa luar negri sudah saya kumpulkan. Pameran pendidikan luar negri saya juga datangi. Meneruskan kuliah di luar negri merupakan impian yang akan diwujudkan.Satu hal yang sangat penting untuk mewujudkan itu semua adalah TOEFL saya harus diatas 500. Kursus bahasa Inggirs merupakan sebuah kewajiban.
Dua hari mengikuti kursus, wajah pengajar bahasa Inggris tersebut tidak mau hilang dalam ingatan saya. Saya mengadukan permasalahan ini pada teman. Dia hanya tertawa geli melihat saya tumben tumbennya ngomongin laki-laki. Terus terang saya bingung dengan hal ini karena secara estetika guru kursus tersebut pas pasan.
Saat ini wajah itulah yang setiap pagi saya lihat ketika bangun tidur. Sebelas tahun sudah ia menjadi bagian dari hidup ini. Lamarannya tidak bisa ditolak begitu saja karena strategi yang dijalankan sangat jitu. Menembak tepat pada sasaran yaitu orang tua dan guru ngaji. Dua pihak yang otoritasnya begitu besar pada diri saya.
Saya menyetujui lamarannya dengan syarat bahwa saya boleh meneruskan kuliah dimana pun dan setinggi apapun yang saya inginkan serta boleh mengajar. Ia menyanggupi dan mengatakan tak perlu sebuah kertas dan matrai untuk meneguhkannya, cukup syahadat sebagai mu'min jadi garansinya. Bila ia khianat terhadap syarat yang saya ajukan maka ia bukanlah seorang mu'min.Karena menurutnya syarat yang saya ajukan merupakan kewajiban semua mu'min. Syarat ini ia jalankan sampai hari ini.
Menikah di usia 22 tahun bila saya renungkan saat ini betapa sangat muda. Menggeser sebuah mimpi dengan mimpi lain dengan cepat sangat tidak logis. Lebih mengikuti kata hati itulah yang saya jalankan. Memang benar kata Pascal hati memiliki alasannya sendiri. Sebelas tahun ini saya semakin mengenal diri sendiri. Terus bergandengan tangan untuk menjadi lebih baik lagi, terutama di hadapanNya. Semoga saya bisa menjadi motivator dan dinamisator bagi qowwam keluarga ini. Ah...terimakasih Sang pembuat sekenario hidup ini! Terus bimbing kami
Amin Bu terus berkarya dan sukses
BalasHapusjika Pascal berasumsi Hati memiliki alasannya sendiri sementara alasan tak selalu bisa dipahami ( Blaise Pascal ), mungkin karena alasan itu adalah jawabanya.