Terjepit...
Pernahkah mengalami suatu kondisi
dimana kita benar-benar terjepit? Saya kemarin mengalami kondisi demikian.
Kondisi yang membuat saya gelisah, tegang dan tidak menikmati momen dan suasana
yang ada. Dalam hati saya berjanji tidak akan mengulanginya dan masuk dalam
situasi tersebut.
Kondisi ini berawal dari
bersedianya saya menjadi pembahas yang mereview modul “Keluarga Sakinah
Perpektif Kesetaraan” yang sudah disusun dan diujicobakan. Kenapa saya
bersedia? Selain sebuah pembelajaran, saya juga tidak ingin melewatkan
kesempatan baik yang diberikan. Tawaran ini sebuah amanah buat saya sekaligus
tantangan.
Modul dan surat saya dapatkan 10
hari sebelum kegiatan. Dalam surat yang dikirim, saya sama sekali tidak
mendapat kejelasan mereview dari perspektif apa. Tidak ada pula kisi-kisi apa
yang harus saya bahas. Saya tidak peka dan tidak memikirkan dulu amanah ini.
Hal ini dikarenakan saya sedang memperbaiki proposal disertasi yang sudah saya
tinggalkan 11 bulan. Selain juga berusaha membuat dua proposal penelitian yang
akan diajukan selain beraktifitas seperti biasa sebagai ibu, dosen dan staf
advokasi yang tiap hari ngantor.
Saya baru betul-betul membaca H-2
dari kegiatan. Saya baca modul dan kumpulkan
referensi sebagai pembahas modul. Dalam kebingungan, saya bertanya pada
teman di Jakarta yang juga akan mengikuti kegiatan tersebut. Dia hanya menjawab
perspektif yang dikuasai saja. Kata dia menambahkan audiens kebanyakan dari Kemenag biasanya tidak
terlalu dalam dan hanya seremonial saja. Power point yang saya buat memakai
perspektif Islam dan tidak terlalu dalam. Saya berencana akan menjelaskan
dengan pengalaman yang saya alami sendiri.
Saat tiba di lokasi, kegiatan
dilaksanakan tepat waktu. Pembahasan Modul di malam pertama yang disajikan oleh
pembuat modul terjadi sangat interaktif. Pembuat modul dalam hal ini merupakan
guru saya selalu membuat saya terkesan dengan argumen-argumennya yang jelas
disertai dalil yang kuat. Peserta Workshop dari Puslitbang Kemenag selain para
peneliti, juga tokoh-tokoh kunci senior di bidang Keluarga yang berasal dari
BP4, Bimas, Urais, dll. Selain tentu saja perwakilan dari Rahima yang juga
sudah saya kenal baik kualitasnya serta cara pandang kritisnya.
Kegiatan berlangsung sampai pukul
21.30 malam. Saya langsung masuk ke kamar hotel dengan perasaan cemas. Apa yang
akan saya sampaikan besok? Masukan terhadap modul yang sudah saya buat hampir
semua sudah di bahas forum. Saya berfikir masih punya waktu untuk mempersiapkan
ini. Malam itu juga saya telfon suami untuk berkonsultasi dengannya. Dia hanya
berkata bahwa dia mempercayai saya dan berdo’a untuk persentasi yang akan saya
lakukan. Saat saya meminta pendapatnya tentang apa yang harus saya bahas, dia
hanya berkata sampaikan apa yang kamu punya dimana orang lain tidak.
Saya terus berfikir apa yang saya
punya dan orang lain tidak? Saya punya apa? Saya tak punya apa-apa. Semakin
saya berfikir semakin kosong pikiran saya. Tiba-tiba saya teringat dengan
disiplin ilmu yang saya tekuni sejak S1 yaitu filsafat. Lalu saya memutuskan
untuk meng-sms dosen filsafat saya agar bisa memberikan semacam clue atau
petunjuk kira-kira teori atau apa yang
mesti saya sampaikan. Ternyata komunikasi kami sulit terjadi. Pulsa telfon saya
malam itu terbatas dan nomor kami beda operator. Kalau saya telfon paling cuma
cukup 2 menit dan itu tidak membantu apa-apa. Saya ingin berbincang lewat YM
atau fesbuk namun ternyata dia tidak connect internet. Dia menyarankan mengirim
tulisan saya lewat email dan akan dia balas pagi nanti.
Saat yang bersamaan tiba-tiba
salah satu dosen filsafat yang lain waktu S1 juga sedang online. Saya langsung
menyapa dan kami berbincang hampir satu setengah jam. Dengan serius saya
ceritakan kondisi yang sedang saya alami ini. Pembicaraan yang terjadi adalah
debat kusir yang tidak jelas. Saya lelah untuk terus meluruskan pembicaraan
agar selalu ada dalam track. Entah kenapa dosen saya saat ini sulit sekali
diajak berbicara ilmiah. Pandangan saya tentang Keluarga Sakinah Perspektif
Kesetaraan diresponi dengan nyinyir. Entahlah mungkin kondisi keluarganya yang
berantakan membuat pikirannya tidak jelas. Setelah dua jam saya bertanya sana
sini ahirnya sampai pada kesimpulan saya akan mengandalkan diri sendiri.
Rencana untuk mengirim tulisan saya pada dosen pertama yang saya ajak ngobrol
juga menguap sudah. Belum tentu juga dia meresponi dengan serius dan baik
kesulitan saya. Kalau nyinyir dan tidak jelas seperti dosen kedua yang saya
ajak bicara artinya buang-buang waktu. Namun saya berterimakasih kepada
keduanya karena masih mau meresponi saya di waktu yang tidak tepat.
Saya lalu mencoba menghipnosis
diri. Merilekskan tubuh saya seringan mungkin. Saya mencoba untuk tidak memakai
gelombang beta yang selama ini membuat saya lelah. Saya pakai gelombang alpha membayangkan bahwa saya bisa menemukan sesuatu yang bisa berguna dalam membahas
modul dan bisa bermanfaat. Membayangkan saya menyampaikan dengan baik.
Membayangkan peserta bisa memahami yang saya sampaikan. Mencoba merasakan
kebahagiaan bahwa apa yang saya jalani adalah proses belajar. Belajar tidak
usah takut salah. Momen yang saya alami adalah sebuah titik yang harus saya
lewati. Beruntunglah saya, Allah memberikan kesempatan ini.
Setelah menghipnosis diri kembali
saya buka tulisan-tulisan lama yang sudah saya buat di laptop. Modul merupakan
media yang penting dalam sebuah pelatihan. Media yang dijadikan fasilitator
sebagai pegangan. Pelatihan merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam
pendidikan. Sebenarnya paradigma
pendidikan seperti apa yang
dipakai oleh Modul ini? Karena tanpa sebuah paradigma pendidikan yang
membebaskan sulit sekali modul ini bisa diaplikasikan.
Ya tiba-tiba sebuah ide untuk
membahas paradigma pendidikan yang membebaskan dan menyadarkan muncul di kepala. Agar sebuah modul, berbagai pelatihan, bahkan
program yang dibuat tidak hanya sekedar formalitas belaka. Setelah pelatihan
lalu apa yang akan dilakukan? Apakah hanya untuk sampai disini saja? Untuk apa
sebenarnya program ini di buat? Karena permasalahan sosial kian hari kian
menggunung, artinya bila tanpa sebuah paradigma yang jelas apa yang dilakukan
akan sia-sia belaka.
Setelah ide ini muncul saya
menuangkannya dalam power point yang mengubah total apa yang sudah saya buat.
Saya revisi ulang tulisan saya yang bisa menjadi media audiens untuk memahami
power point yang akan saya sampaikan. Saya tidak berfikir hanya mencoba
menuangkan apa yang saya punya, pahami dan ingin saya bagikan.
Entah seperti apa gaya saya
mempersentasikan saat itu, yang jelas saya sudah menyampaikan apa yang ingin
saya sampaikan. Saat meminta pendapat teman bagaimana penampilan saya? Dia
hanya bilang, “santai saja penampilan kamu cukup baik”. Pada pembicaraan yang
lain dia juga berkata bahwa seringkali dia tidak bisa mengikuti pola pikir saya
yang kadang nyentrik di luar kebiasaan sehingga sulit di tebak katanya. Ah
terserahlah satu pelajaran yang bisa saya petik dari kondisi terjepit ini yaitu
jangan biarkan diri kita ada dalam kondisi terjepit. Kalau saya serius di
bidang yang dijalani saat ini, maka membaca penelitian-penelitian terkini
tentang perempuan di dunia muslim harus jadi kebutuhan. Beruntunglah saya
bertemu dengan peneliti senior yang memberi banyak referensi berupa link yang berisi buku pdf tentang penelitian-penelitian
tentang perempuan di dunia muslim saat ini. Terimakasih Allah.
Komentar
Posting Komentar