Botram

Kangkung, labu siam, toge dan kacang panjang direbus satu persatu.  Goreng kacang tanah sudah tercium harumnya dan segera diangkat oleh Mama Audya. "Mimi yang ngulek ya saya mau ngangkat rebusan sayurannya dulu. "Oke", jawabku. Segera cengek merah, goreng kacang tanah, gula merah, sedikit terasi aku haluskan. Tak lupa sedikit garam kutambahkan agar rasanya semakin kuat.


Siang ini entah untuk yang keberapa kali saya dan ibu-ibu tetangga sekitar rumah melakukan botram atau makan siang bersama. Kami melakukannya biasanya pada hari libur seperti hari minggu siang ini. Tak suka direncanakan memang, kami melakukannya semau kami. Bila salah satu ibu punya inisiatif dan kebetulan didukung paling tidak 3 ibu yang lain maka botram pun bisa dilakukan.

Makanan yang kami hidangkan sangat sederhana, seperti karedok, liwet, sambal terasi, goreng peda, tempe, tahu dan beberapa lalapan. Meski sederhana dijamin satu piring tidak akan cukup. Biasanya kami semua nambah sampai beberapa kali hehe. 
Selama makan kami berbincang-bincang. Awalnya membicarakan artis di infotainmen. Bagaimana seorang Yuni Shara yang terpaut usia jauh dengan Rafli Ahmad bisa kembali pacaran. Betapa Rafli Ahmad sangat terpukul saat diputuskan Yuni. Mama Audya bilang bahwa, ternyata bukan hanya usia dan fisik saja yang menjadikan seseorang jatuh cinta, melainkan hal yang lebih dalam dari itu. Apa itu tanyaku? "ya...mungkin sesuatu yang dibutuhkan Rafli secara psikologis dan hanya ada di Yuni", jawab mamah Audya. Iya ya kadang cinta memang tidak rasional.

Obrolan kami mengalir begitu saja sampai pada kesewotan ibu-ibu dengan Banggar DPR RI dan jembatan gantung di Lebak Banten. "Gila masa kursi aja sampe 24 juta, WC 2 miliar? pantes aja harga semakin mahal pemerintahnya ngurusin perut sendiri sedangkan bikin jembatan sederhana saja terlupakan" kata mamah Tyas. "Gemes deh...padahal kita yang milih ya...tau gitu kita kosongin aja kemarin pas pemilihan anggota dewan kalo emang kerjanya kayak gitu", ia menambahkan. Trus saat tau kayak gitu gimana bu?, tanyaku. "Ya gak gimana-gimana pokoknya sebel banget deh, pokoknya amit-amit deh anakku kalo kelak jadi orang kayak mereka kata mama Tyas yang juga seorang guru.

Iya ya bu...padahal mereka kan orang berpendidikan? tapi kenapa bekerja sama melakukan pendzoliman seperti itu? mereka duduk di sana kan amanah dari kita. Anggaran yang dipakai juga sebenarnya untuk rakyat, trus gimana caranya agar anak-anak kita kelak tidak seperti mereka? pertanyaanku bertubi-tubi keluar begitu saja. "Udah deeh jangan ngomongin politik mulu, pusing ngedengernya, kita mah rakyat kecil yang penting masih bisa makan dan sekolahin anak", mama Vio menyela. "Nih mimi mau tambah lagi gak karedoknya, saya mau tambahin cengek lagi soalnya bikinanmu kurang pedes". "Oh silahkan aja saya memang kurang suka yang terlalu pedas, cukup mama Vio udah nambah dua kali soalnya hehe" jawab saya.

Mama Tyas kembali berkata, "mama Vio gak boleh kayak gitu kita harus peduli dengan masa depan negri ini, anak-anak kita bisa makan dan sekolah sangat tergantung pada wakil rakyat yang duduk di sana. Kalo mereka terus-terusan korupsi lama-lama kan harga mahal kita bisa enggak bisa makan, sekolah juga kayak gitu". "Wiih mamah Tyas nih memang oke" kataku pantes Tyas sekolahnya pinter. Tapi mama Vio juga gak salah ujar saya, kapasitas kita sebagai perempuan dan ibu rumah tangga sangat tepat untuk mengukur kinerja pemerintah baik ato tidak. Karena kita yang terkena dampak pertama kalau harga-harga naik padahal harus menyajikan makan sehat untuk keluarga. Kita pula yang mengatur laju keuangan keluarga yang prioritas utamanya adalah pendidikan keluarga. "Bu dosen lagi ngisi kuliah nih" celetuk mama Satria yang memang pendiam dan biasanya menjadi pendengar setia.

Obrolan itu berlanjut dengan cerita kami tentang anak masing-masing mulai dari kelucuan mereka, kenakalan mereka sampai kecerdasan mereka. Tak terasa makanan yang tersedia sudah tandas, tinggal teh tawar panas menutup botram kami. "Ya pokoknya gini deh mimi, sesekali luangkan waktu di RT kita untuk ngisi tentang bagaimana menjadi ibu yang baik untuk anak-anak, saya mau ngusulin ke ibu Omi agar mimi ngisi di minggu ke 3 di pengajian kita". "Mamah Tyas bisa aja, justru saya harus belajar banyak sama ibu, karena saya baru tau teorinya saja dan prakteknya belum teruji sedangkan mamah Tyas kan sudah terbukti, anaknya pada baik dan pintar, tapi kalau untuk berbagi saya tidak keberatan karena nanti bukan ceramah melainkan kita ngobrol dan berbagi ya", ujar saya.

Hari ini kembali saya tutup dengan senyuman. Komplek perumahan kecil ini membuat kami begitu akrab. Dinding rumah kami menempel satu sama lain. Sehingga kekeluargaan begitu terasa saat berada di sini. Meski jauh dari keluarga baik dari keluargaku maupun suami, aku merasa merekalah keluargaku di kota ini.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue