Sepenggal Kenangan Mudik Bagi Seorang Perempuan

Mudik tahun ini berjalan sesuai rencana yaitu di tempat saya menghabiskan masa kecil. Sebuah kota di propinsi banten yang terkenal dengan suku Badui. Kota ini bernama rangkasbitung. Seperti biasanya...saat saya menginjakan kaki di kota ini udara panas menyambut. Meski saya tiba malam hari, tapi tetap saja udara panas setia menemani. Mungkin karena sudah 12 tahun lebih saya sudah terbiasa dengan udara bandung yang sejuk. Ya...sepanas apapun, kota ini telah menorehkan banyak kenangan dalam lembaran hidupku.

Bertemu dengan keluarga adalah berkah tersendiri dalam hidup. Mudik kali ini telah mempertemukan saya dengan banyak saudara. Silaturahmi yang dijuduli mudik, telah mampu mengingatkan saya bahwa saya tidak sekedar menjadi ibu dan istri. Melainkan juga seorang anak, cucu, bibi, bu de, keponakan, ipar dan juga sebagai perempuan.

Takbir Iedul Fitri menyambut kedatangan saya malam itu. Rasa lelah menempuh perjalanan selama hampir 4 jam sirna ketika keluarga besar menyambut kedatangan kami. Semua bergembira menyambut hari kemenangan.

Selama perjalanan mudik tahun ini saya memperhatikan betapa tampak perbedaan peran yang dibentuk masyarakat terhadap jenis kelamin. Semua tugas domestik hampir semua yang mengerjakan keluarga saya yang berjenis kelamin perempuan. Termasuk saya sendiri. Saya yang sudah terbiasa berbagi peran dengan suami menjadi mengikuti arus mereka. Ada kekhawatiran bila kami melawan arus, kami menjadi kurang di terima. Alhasil...mudik kali ini menguras banyak energi saya dan menjadi pergulatan batin tersendiri.

Saat Silaturahmi keluarga besar di gelar, suami saya menjadi pembawa acara. Ia menunjuk saya sebagai pemimpin doa untuk menutup acara rutin tersebut. Sebagian besar anggota keluarga terlihat heran, karena biasanya yang menutup doa adalah sesepuh keluarga yang tentunya berjenis kelamin laki-laki. Keheranan mereka kami netralkan dengan alasan bahwa saya sedang belajar memimpin doa. Sebenarnya saya dan suami hanya ingin membiasakan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam hal apapun. Allah pun akan mengabulkan doa hambanya tanpa mempertimbangkan jenis kelamin orang tersebut.

Semangat Ramadhan tetap ingin saya kobarkan dalam program mudik kali ini. Saya berusaha sebaik mungkin menjadikan akhirat sebagai orientasi dalam hidup. Namun sesekali orientasi tersebut tergoda oleh pola fikir beberapa sanak saudara yang matrealis. Bagi mereka yang terpenting dalam hidup ini adalah bagaimana memiliki rumah yang bagus, uang yang banyak, kendaraan keluaran terbaru meskipun mungkin kehidupan spiritual mereka sangat kering, juga kering secara intelektual. Tapi tindakan-tindakan mereka cukup mengusik saya dan suami dan membuat kami jengah.

Selain bertemu dengan keluarga besar, saya pun sempat bertemu dengan teman-teman perempuan masa kecil saya yang usia pernikahannya lebih lama dari saya. lagi-lagi saya merasa berbeda, merasa asing dan dianggap aneh. Semua hal diukur dengan materi. Betapa bangganya mereka dengan apa yang diperoleh suaminya. Mereka beranganggapan bahwa kunci sukses dalam hidup ialah diamnya seorang perempuan di rumah. Saat itu saya tak banyak berbicara. Hanya bertanya dan sekedar mengomentari cerita mereka. Akhirnya mereka menanyakan aktifitas saya selama ini dan jawaban saya membuat bingung mereka. Untuk apa perempuan seperti itu.

Ya...saya tidak menganggap bahwa rumah bagus, uang banyak serta kendaraan bagus tidak penting. Semua hal tersebut penting. Namun bukan hal terpenting. Dan bukan tujuan dalam hidup. Semua hal itu hanya sarana. Sarana yang bisa dioptimalkan untuk mendekatkan diri pada Allah. Karena hanya sebagai salah satu sarana, maka ketiadaanya tidak menjadikan hidup seseorang tidak bermakna.

Jawaban saya yang membuat bingung temen-teman perempuan yang bertanya, sebenarnya keluar dari pemikiran yang hati-hati agar jangan sampai menyinggung mainstream mereka saat silaturahmi. Alih-alih tidak menyinggung yang ada malah dianggap aneh ya sudahlah semoga kelak mereka mengerti bahwa mereka bukan sekedar pelengkap saja. Mereka juga merupakan subjek yang bisa menentukan kehidupan mereka. Bukan mengantungkan pada selain Allah yang membuat mereka tanpa sadar menjadi budak manusia yang bernama suami.

Enam hari sudah perjalanan mudik yang dilewati. Semoga bukan sebuah kesia-siaan. Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Banyak untaian syukur dipanjatkan atas anugerah pemahaman bahwa perempuan adalah manusia.Saat seorang perempuan menyadari bahwa dirinya adalah manusia. Maka ia tak kan rela menjadi budak seorang manusia. Hanya kepada Tuan Sejatilah kerelaan itu hendaknya dialamatkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ingin Kembali!

Aksi-Refleksi Bersama Bloom

Sunan Ampel dan Cardinal Virtue